Tuesday, November 28, 2006

Dad's words

Ini postingan dari bokap ke mailing listnya pengajian saint louis. seneng aja bacanya. pengen ngepost disini soalnya klo di keep di imel takut keapus dan klo disimpen jg nyarinya lagi ribet..

Daun Terakhir

Akhir November 2006 merupakan hari-hari terakhir saya tinggal di Saint
Louis, kota yang indah di negara bagian Missouri Amerika. Satu diantara
sekian banyak hal yang menarik adalah theater alami yang disajikan oleh
berbagai dedaunan sepanjang tahun. Awal saya datang di musim panas 2001,
hampir semua dedaunan mulai dari rumput sampai pohon oak berwarna hijau
menyegarkan. Mereka seolah mengerti bahwa kita memerlukan tempat bernaung
dan melepas lelah setelah berpanas-panas menikmati kepandaian dan kebolehan
manusia dalam mengolah ciptaan Tuhan. Kepandaian manusia untuk terbang ke
langit disuguhkan dalam bentuk atraksi udara yang umumnya mempertontonkan
kecanggihan pesawat perang yang tragisnya digunakan untuk saling
menghancurkan. Di sisi lain kita juga dapat menikmati keindahan para pakar
musik yang memanjakan mata dan telinga kita mempertontonkan kebolehannya
mengolah nada dan irama dalam bentuk musik jazz atau simponi di berbagai
taman di Saint Louis yang dapat dinikmati dengan murah bahkan gratis.

Hamparan rerumputan yang tebal dan hijau menyilakan kita untuk duduk dengan
nyaman dan daun-daun yang rindang dan sejuk itu melindungi kita dari
teriknya matahari. Daun-daun itu mengajarkan kita bagaimana mereka
memanfaatkan sinar matahari sebagai ciptaan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan
dirinya tapi sekaligus memberikan manfaat bagi makhluk lain termasuk untuk
manusia yang justru senang merusak pepohonan. Sang daun tidak pernah
merajuk, dan memasuki bulan November mereka mengganti kostum mereka
tergantung peranan masing-masing. Kebanyakan mempertontonkan warna merah,
kuning, dan jingga dan sebagian lagi seperti pinus dan cemara tetap memakai
gaun berwarna hijau sebagai tanda bahwa diantara mereka juga ada yang tahan
banting sepanjang musim. Namun sayangnya pertunjukkan tersebut hanya
berlangsung singkat karena mereka harus merelakan dirinya untuk berguguran
dan berserakannya sang daun dengan berbagai warna memberikan pesona
tersendiri sebelum akhirnya mereka ditiup dan dikumpulkan oleh petugas
kebersihan.

Tanggal 24 November 2006 saya masih menyaksikan daun terakhir yang gugur di
halaman belakang apartmen saya, Cypress Village, sebelum melangkah menuju
pesawat kembali ke Indonesia untuk memulai kembali perjuangan di tanah air.
Saat itu hampir semua pepohonan yang sudah kering kerontang memberikan
isyarat kepada saya untuk tetap tegar dalam menghadapi cuaca apapun. Berat
juga rasanya meninggalkan arena yang memberikan kita kebebasan untuk
berpikir dan bertindak lepas dari berbagai intrik kekuasaan dan kepalsuan
untuk mencapai singgasana kekuasaan tersebut. Terlebih lagi saya akan
kehilangan tontonan berikutnya disaat sang dedaunan mempertontonkan
keindahan warna putih, merah jambu, dan lembayung di musim semi mendatang
sebagai tanda bahwa mereka siap kembali untuk menyambut kehidupan berikutnya
dengan niat yang lebih bersih seputih warna daun di musim semi.

Tapi sang daun memberikan semangat dan kekuatan bagi saya untuk menghadapi
dan bukan menghindari kehidupan yang nyata yang penuh dengan tantangan. Ya
Allah, saya ingin belajar seperti daun-daun itu. Mereka tidak pernah cerewet
dalam menjalankan tugas utamanya untuk menghidupi pepohonan, mereka tidak
pernah meminta imbalan dalam memberikan pertolongan kepada orang lain dan
juga ketika menyajikan teater aneka warna keindahan mereka. Bahkan setelah
mereka gugur, mereka menyediakan diri menjadi pupuk untuk makanan sesama
pepohonan.

Saint Louis, Nov 06
YSL
NB: Alhamdulillah saya dengan istri sudah selamat sampai di Jakarta

2 comments:

Cygyt said...

Great great words!
Tersentuh n mengharukan banget kak...
You'll do great there! Keep ur spirits up!
Peace

Amanda Supriadi said...

It is, isn't it?
Thanks dek, if I am half a man (or woman in this case) like my dad, I'm sure I'll do just fine here =)